EDP TV ANALOG : Blangkon TV dan Yogya Channel

image

Ini adalah rangkaian EDP oleh 12 calon TV ANALOG di KPID DIY untuk memperebutkan entah dua atau tiga kanal analog UHF tambahan, yaitu kanal 55, 57 dan 61.

Hari ini yang EDP adalah Blangkon TV dan YOGYA CHANNEL.

Tadi saya melihat paparannya untuk Blangkon TV katanya mau membuat tower TV di kota Jogja dengan ketinggian 75 meter. Acuannya adalah tinggi BTS di dekat tanah yang akan dibangun tower adalah 75 meter. Jadi dipandang tidak masalah.

Akan tetapi Blangkon TV mungkin belum tahu secara teknis bahwa kanal analog yang akan diperebutkan ini adalah untuk wilayah coverage Jogja dan Solo bahkan sampai Boyolali, Sragen, Karanganyar, Magelang, Muntilan dan Temanggung. Sehingga mau tidak mau harus memancar dari desa Ngoro-Oro, Patuk, Gunungkidul, tempat dimana semua pemancar TV analog dan digital area coverage Jogja-Solo berada.

Perkara tower dan gedungnya mau sewa kepada pemancar yang sudah ada atau mau beli tanah lalu dibangun sendiri, itu terserah saja. Tetapi sebagai gambaran bahwa untuk mendirikan pemancar sendiri dengan lengkap paling tidak habis 3-5 Milyar.

Sebagai gambaran harga tanah kisaran Rp. 750.000/meter.
Biaya pembuatan tower mungkin 500 juta sampai 1 Milyar.

Pemancar harusnya yang 20 KW dan sebaiknya jangan main main dengan pemancar yang belum terbukti kehandalannya. Untuk pemancar bisa 2-4 Milyar sendiri harganya.

Belum lagi membuat Gedung, beli Genset 200 KVA, beli UPS.

Jadi memang urusan membuat pemancar analog ini bukan hal yang ringan.

Ironi jika program siaran secara konten bagus dan menarik tetapi terkendala pemancar yang jelek sehingga diterima di pemirsa kualitasnya jelek banyak semut dan suara kemresek. Karena ini analog.

Sebenarnya saya salut pada paparan dari Blangkon TV karena menyasar budaya kepada generasi muda Jogja. Hanya saja perlu dipertimbangkan tentang letak pemancarnya.

Untuk Yogya Channel saya anggap biasa saja paparan EDP nya tadi tidak ada yang istimewa dari pada EDP tv sebelum sebelumnya.

Kedua tv analog ini tadi komitmen menjadi MURNI TV LOKAL.

Oke deh kita tunggu saja besok bagaimana hasil akhirnya. Karena masih ada EDP untuk 4 tv analog lagi pada hari Rabo dan Kamis besok.

TV digital bagaiman? Sudah ada 22 yang lolos EDP digital di KPID DIY, seharusnya ke 22 tv digital ini diwajibkan siaran dan sewa mux kepada 5 mux swasta. Harusnya era SIMULCAST sudah jalan, sehingga warga jogja yang ingin melihat tv berkualitas maka saya yakin warga akan rela membeli pesawat TV baru yang sudah include receiver DVB-T2 atau cukup beli STB kisaran harga Rp. 350.000

image

image

image

image

image

ini lho bedanya antara penerima TV analog, dengan penerima TV digital DVB-T2

tif2

Ini TV DIGITAL lho meskipun layarnya TABUNG

Dari pengalaman saya bincang bincang dengan beberapa orang, hampir 100% mereka tahunya kalau TV yang tipis misal LCD atau LED itu adalah TV DIGITAL. Mungkin bisa benar jika TV LCD itu sudah include tuner DVB-T2. Tapi kalau belum ada tuner DVB-T2 ya belum bisa disebut tv penerima digital teresterial.

Foto paling atas malah bisa disebut TV DIGITAL, walaupun itu layarnya masih TABUNG yang besar dan memakan tempat. Karena tv tabung diatas sudah saya beri STB DVB-T2 yang saya letakkan diatas  tv tabung.

Sedangkan foto dibawah ini, meskipun ini adalah monitor LCD, yang aslinya adalah monitor komputer di rumah saya, tapi saya belikan tuner tv ANALOG merk gadmei dengan harga Rp. 155.000,- Jadilah layar LCD ini menjadi penerima TV Analog.

LCD View Sonic diberi receiver tv analog merk Gadmei

Ini TV ANALOG lho. layar LCD View Sonic diberi receiver tv analog merk Gadmei

TV Tuner ANALOG Gadmei

TV Tuner ANALOG Gadmei

Untuk instalasi TV TUNER ANALOG Gadmei ini, intinya tv tuner ada di antara monitor dan komputer.

Instalasi kabel dan antena dilihat dari atas

Instalasi kabel dan antena dilihat dari atas

lebih jelas lagi

lebih jelas lagi

Indonesia goes to digital TV

image

Alhamdulillah tanggal 26 September 2011, saya berkesempatan untuk mengikuti seminar di JEC yang dilaksanakan oleh KOMINFO RI dalam rangka 1st ICT Expo and Conference 2011.

Sebenarnya saya hanya menghadiri semunar yang ini saja http://hadiyanta.com/2011/09/27/1st-ict-expo-conference-2011/, tetapi setelah selesai seminar, saya iseng-iseng menghampiri meja penyelenggara seminar tv digital, dan minta makalah, dan Alahamdulillah malah diberi satu tas lengkap berisi makalah, boneka ikon tv digital dan kaos keren 😀

Dan ini niata saya untuk berbagi yang saya dapatkan, semua bahan ini saya dapatkan dari seminar TV

image

Foto selengkapnya klik disini Baca lebih lanjut

Menunggu Implementasi TV berjaringan di DIY

KPID DIY, 2 Desember 2009, 10:00

Saya hadir dalam diskusi dengan tema seperti judul tulisan saya diatas di KPID DIY.

Diskusi di KPID DIY

Di Blog saya ini saya akan keluar jalur dari diskusi diatas. Saya menulis menurut pendapat dan pandangan saya pribadi bahwa TV harus berjaringan dan harus bermuatan lokal itu implementasinya akan sulit.

Pola Pikir (sumber makalah Ki Gunawan)

Menurut pendapat saya, sebenarnya akar permasalahan dari adanya peraturan tv harus berjaringan adalah karena setelah reformasi banyak sekali di daerah-daerah para pengusaha yang mendirikan TV lokal, tetapi karena kanal frekuensi terbatas dan itu sudah duluan dipakai oleh TV Jakarta (TV Nasional), maka tv-tv lokal tersebut tidak bisa berbuat banyak, akhirnya salah satu jalan keluarnya adalah dengan memakai undang-undang bahwa frekuensi itu adalah milik atau kekayaan daerah, dan harus dikuasai oleh orang daerah.

IPP ISR (sumber tvOne)

Masalah ini terjadi karena saat memakai mode pemancaran teresterial analog saat ini, maka satu kanal frekuensi hanya dapat dipakai oleh satu pemancar tv analog. Sesungguhnya solusi dari masalah ini sudah ada, yaitu sistem penyiaran teresterial digital atau lebih dikenal sebagai DVB-T, Digital Video Broadcasting-Teresterial.

Jadi sekarang sebenarnya tinggal menguji niat, kesungguhan dan keberanian tv-tv yang baru tersebut, apakah memang mau siaran beneran atau sekedar mendirikan tv untuk nantinya disodorkan/ditawarkan kepada tv Jakarta untuk bekerja sama ber SSB (bahasa bisnisnya dijual ke tv Jakarta yang akan siaran di daerah).

Kalau memang niat 100% untuk siaran, maka solusinya adalah langsung siaran bareng dengan mode digital saja, karena mode digital ini untuk satu pemancar bisa menampung 6 sampai 8 siaran tv sekaligus, sehingga langkahnya sebagai berikut; misal ada 6 televisi lokal baru, atau dalam hal ini disebut dengan Content Provider, jadi hanya mengurusi konten/isi siaran saja, dalam hal ini keenam tv lokal tersebut masing-masing harus punya IPP (Ijin Penyelenggaraan Siaran), lalu keenamnya bisa saja bergabung membuat perusahaan peyiaran digital secara patungan, dan dalam hal ini perlu ijin ISR (Ijin Siaran Radio) untuk memancarkan siarannya,  ini hanya satu saja ijinnya. Setelah semua ijin diperoleh, maka tinggal mendirikan satu tower pemancar dan hanya butuh satu mesin pemancar digital untuk dipakai bersama dari keenam tv lokal yang baru tersebut.

Disinilah dimulainya persaingan yang sesungguhnya, masyarakat diberikan edukasi mengenai adanya enam tv lokal  baru dengan mode digital, dan mode digital ini, gambar dan suaranya lebih bagus kualitasnya dari pada tv analog yang sekarang biasa dinikmati, mungkin sebagai langkah awal keenam tv lokal tersebut juga memberikan Set Top Box gratis misal 4.000 STB, yang diberikan secara acak. Saya dengar kabar terakhir, harga STB sudah ada yang Rp. 150.ooo,00 per buah. STB ini berfungsi menangkap siaran digital lalu diubah ke analog agar bisa dilihat di tv analog yang sudah dimiliki pemirsa selama ini.

Jadi mempercepat penggunaan teknologi digital DVB-T adalah solusi yang fair dalam mengatasi kemelut tv jaringan dan konten lokal. Sekarang hitung-hitungannya seperti ini.

Biarlah TV Nasional yaitu TPI, RCTI, GLOBALTV, TRANS7, TRANSTV, TVONE, ANTV, INDOSIAR, SCTV, METROTV  yang berjumlah 10 buah, tetap siaran sebagaimana mestinya, karena mereka bagaimanapun juga datang duluan, ada lebih dulu, dan punya insfrastruktur dan SDM di tiap daerah, tetapi juga tetap secepatnya didorong untuk memakai DVB-T dalam pancarannya di semua daerah.

Sekarang kita hitung kapasitas pemancar tv digital, yaitu dalam suatu area, misal area Yogyakarta, hanya diperbolehkan ada 4 perusahaan penyiaran radio/pemancar dalam mode digital, jika untuk satu pemancar bisa menampung 8 siaran tv secara bersama-sama, maka hasilnya adalah 32 TV bisa siaran bareng dalam satu wilayah, nah karena tadi TV Nasional hanya ada 10 buah, sehingga jika dalam satu daerah itu TV Nasional dan TV Lokal siaran bareng, maka jatah untuk TV lokal masih ada 22 buah lembaga penyiaran lokal. Jadi masih adanya slot untuk tv lokal yang 22 buah saya rasa sudah fair, sudah 1 berbanding 2, ini belum ditambah TVRI daerah, dan juga mungkin tv komunitas lokal nantinya.

SSJ : 28 Desember 2009???? (sumber tvOne)

Bagaimanapun masyarakat butuh TV Nasional yang beritanya menyeluruh seluruh NKRI, jadi dalam hal ini “lokal”nya TV Nasional itu adalah NKRI.

Masyarakat juga butuh TV LOKAL, misal TV lokal Jogja, jadi isi siarannya lingkup lokal dan budaya Jogja.

Masyarakat  juga butuh TV internasional, yang meliput seluruh berita internasional.

Sebenarnya sekarang ini dengan langganan internet berkecepatan tinggi >256 kbps, kita bisa dengan nyaman melihat TV Streaming dari belahan dunia manapun, dunia maya/internet sudah meniadakan batasan-batasan negara dan wilayah, tetapi kita masih ngotot dengan batasan lokal dan nasional.

Ingat besok penyiaran tv akan dibagi dua, yaitu Content Provider yang hanya fokus dalam isi siaran, dan kedua adalah SERVICE PROVIDER yaitu penyedia perangkat siar. Padahal dalam sistem digital ada 4 mode, yaitu DVB-S yang lewat satelit, DVB-H yang lewat HP, DVB-C yang lewat media kabel, jadi langganan tv kabel. Terakhir DVB-T yaitu free open air, artinya siaran digital gratis lewat pemancar digital. Semua tv jakarta yang siaran saat ini sebenarnya sudah DVB-S, jadi anda yang punya parabola dan receiver digital berarti sudah melihat TV digital via satelit, biasanya yang punya adalah penduduk yang tidak terjangkau siaran teresterial biasa. Jadi nantinya bisa saja misal tvOne siaran juga melalui DVB-H, dan DVB-C. Hampir lupa lewat internet sebenarnya seperti tvOne sudah lama bisa diakses diseluruh dunia, asal tersambung internet dengan kecepatan yang dipersyaratkan, nah apakah yang seperti ini juga harus dibatasi dengan aturan macam-macam?

Harusnya batasannya adalah apakah acara itu bermanfaat, mendidik, tidak melanggar hukum agama, hukum adat, dan budaya? Walaupun ini juga susah juga, karena agama yang mana? adat yang mana? budaya yang mana? mendidik yang seperti apa?

Akhirnya kita tunggu saja akhir dari SSB (Sistem Siaran Berjaringan) ini nantinya akan seperti apa.

Sebagai info tambahan, MaliobroTV bekerjasama dengan J-tv (JawaPostTV yang berbasis Surabaya), telah instalasi pemancar di Ngoro-Oro pada bekasnya gedung, dan tower milik TATV dulu, yang saya masih tanda tanya, mereka nanti mau onair dengan frekuensi berapa? karena TATV yang memakai frekuensi 50 UHF milik Jateng/Magelang, akhirnya harus keluar dari Ngoro-Oro Patuk GunungKidul, pindah ke Boyolali.